Mengapa Solo?
Delapan tahun lalu, pertengahan Mei 1998, terjadi kerusuhan massal. Pertokoan dijarah, dirusak, dibakar. Korban pun jatuh. Ini terjadi terutama di Jakarta, Solo, Medan. Tetapi, mengapa juga Solo, yang tak sebesar Jakarta? Mengapa di kota lain, Semarang misalnya, tidak (tak sebesar di Solo dan Jakarta).
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Solo Heritage Society tampaknya bisa dijadikan acuan. Penelitian itu menyimpulkan bahwa Solo sejak awal berdirinya Keraton Kasunanan Surakarta, 1745, sudah menyimpan potensi konflik.
Dipindahkannya keraton dari Kartasura di barat ke arah timur (Keraton Solo sekarang, berjarak sekitar 10 km), di dekat Bengawan Solo, waktu itu didasari pertimbangan karena keraton lama dirasa tak pantas lagi menjadi ibu kota kerajaan (Mataram) karena setelah “tercemar”, pernah diduduki musuh.
Sebenarnya tata cara perpindahan keraton itu sudah memenuhi syarat sebuah pemerintahan yang damai dan sesuai dengan hak-hak sipil masyarakat. Pihak keraton waktu itu memberikan ganti rugi yang disetujui kedua belah pihak, bukannya melalui kekuasaan raja.
Kemudian, segala sesuatunya dirancang sesuai konsep kerajaan yang diyakini: di mana raja bersemayam, di mana kepatihan (pelaksana pemerintahan sehari-hari) ditempatkan, alun-alun, lalu masjid besar, kemudian akses rakyat ke raja, ke mana kota dikembangkan, dan sebagainya.
Namun, cara yang baik itu ternyata terjadi di zaman yang salah. Waktu itu dominasi kolonial Belanda sudah demikian jauh di Solo. Akibatnya, perkembangan Solo cenderung mengarah menjadi kota modern seperti tipe Eropa. Di kota itu terdapat sebuah jalan protokol yang membujur arah barat-timur. Lalu terbagi oleh jalan-jalan yang tegak lurus pada jalan protokol tadi, di sisi kanan dan kiri. (Lihat saja Jalan Slamet Riyadi, kemudian jalan-jalan yang mengarah ke utara dan selatan yang tegak lurus terhadapnya).
Tentu saja, secara tata kota itu sendiri, soal ini baik-baik saja. Namun, pemaksaan cara kolonial itu berbenturan dengan konsep keraton. Dan mudah dipahami bila keraton kalah atau terpaksa mengalah.
Politik Belanda yang memecah belah dilakukan dari cara kekerasan hingga cara “administratif”. Misalnya, kepatihan beserta seluruh anggota stafnya ternyata mendapat subsidi dari Belanda meski tak sebesar gaji yang diperoleh dari keraton. Toh, ini sudah memungkinkan Belanda menjauhkan hubungan kepatihan dan keraton.
Akibatnya, dengan mudah Belanda mengatur kebijakan di bidang-bidang yang menjadi kepentingannya: pertanahan, peradilan, dan tata ekonomi. Dan sudah barang tentu kebijakan penjajah ini demi kepentingan negeri Belanda nun jauh di Eropa daripada kepentingan keraton, apalagi kepentingan rakyat.
Menimbun sungai
Maka, dikisahkan Sungai Bathangan yang bermata air di Pengging (Boyolali), pada titik di Purwosari di barat kota sampai Gladag di timur pun ditimbun menjadi jalan. Semula jalan besar ini diberi nama Whilhelmina straat, kemudian menjadi Purwosari weg, dan kini menjadi Jalan Slamet Riyadi. Perdagangan dan mobilitas masyarakat yang semula menuruti budaya air menjadi budaya darat.
Saya bayangkan, Belanda waktu itu memiliki alasan yang masuk akal: telah terjadi pendangkalan sungai sehingga kapal besar sulit masuk. Tetapi, inilah jalan yang kemudian menjadi jalan utama militer Belanda sekaligus jalan untuk mengangkut hasil bumi serta hasil hutan menuju ke pelabuhan di Semarang.
Lalu, Belanda pun membangun kantor-kantor dagang dan lain-lain sepanjang jalan baru yang merentang dari timur sampai ke barat itu. Dan di timur, persis di sebelah utara alun- alun, dengan cerdik Belanda mendirikan Benteng Vastenburg. Siasat yang mudah ditebak, tapi waktu itu mungkin sulit ditolak bahwa militer Belanda dengan demikian mudah mengontrol segala aktivitas keraton, bahkan keraton serta kepatihan bukan hanya secara keuangan, tetapi juga secara ruang “dipisahkan”.
Maka, tumbuhlah kota (Solo) yang terlepas dari rencana keraton, yang dalam konsepnya, kota akan dikembangan ke arah utara. Ini tentu ada alasannya. Lahan di utara keraton masih banyak yang kosong dan tanahnya tak begitu subur, tak cocok untuk pertanian. Sedangkan lahan di barat (dan selatan ) adalah lahan subur. (Nanti, ternyata kebijakan mengabaikan tanah subur ini terjadi juga di masa pemerintahan Soeharto.)
Seiring menancapnya kuku-kuku kolonial Belanda, berkembang pula permukiman untuk Belanda dan orang Barat di Solo. Sementara itu, di sekitar Jalan Slamet Riyadi tumbuh perkantoran dan permukiman Belanda, di timur didirikan gedung untuk dansa-dansi (kemudian dikenal dengan nama Loji Wetan).
Kawasan elite untuk Belanda pun makin banyak, antara lain di sebelah utara Pura Mangkunegaran, yakni di Banjarsari. Inilah kawasan tersejuk di Solo kala itu, komplet dengan air mancur dan lahan-lahan hijau yang ditanami kelapa sawit. Dan di kiri-kanan jalan pohon asam nan rindang menambah kenikmatan sinyo dan nonik Belanda bila jalan-jalan di pagi dan sore hari. Kenapa Banjarsari?
Alhasil, dengan mudah orang memahami, memang Belanda merencanakan kota Solo dengan baik, akrab lingkungan, menunjang aktivitas ekonomi. Tetapi, semua itu bukan untuk kepentingan keraton dan rakyat, melainkan kepentingan Belanda sendiri.
Hal ini makin nyata dengan dibangunnya transportasi kereta api. Rel di sepanjang Jalan Slamet Riyadi menghubungkan kawasan timur (tempat permukiman Belanda) agar bisa pergi ke barat (Purwasari). Dari Purwasari, kereta bisa langsung menuju Yogyakarta. Atau rel yang ke utara yang menuju Stasiun Balapan, stasiun dekat kawasan elite Banjarsari. Dari Balapan kereta bisa ke Semarang. Inilah angkutan yang bukan hanya menampung manusia, tapi terutama hasil bumi dan hasil hutan.
Tidakkah rakyat memetik manfaat juga? O, ya, memang, begitu penelitian ini menarik kesimpulan. Namun, jangan dibayangkan bahwa warga Kiai Solo bisa menikmati kereta api dengan nyaman. Selain karcis mahal, untuk pribumi hanya disediakan gerbong terbatas dan tidak senyaman gerbong untuk kelas berduit (Belanda, para pedagang China dan Arab, dan bangsawan yang berkolaborasi dengan kolonial). Konon, di gerbong pribumi ini pula hasil bumi itu diangkut.
Kota multirasial
Menurut penelitian ini, Solo berkembang menjadi kota yang multirasial. Dan Belanda mengatur permukiman menurut kelompok ras. Ini memudahkan kontrol. Dalam konteks yang lain, memudahkan pula konflik: pemisahan ini membuat orang sesumbar: “Siapa aku siapa kamu”.
Jadi, sejauh aparat keamanan bisa mengontrol segalanya, potensi konflik tinggallah sebagai potensi. Namun, bila aparat lengah—apalagi aparat ikut bermain—konflik mudah meledak menjadi kerusuhan. Segalanya sudah tersiapkan, disengaja atau tidak: pelaku adalah rakyat tergusur yang kemudian harus tinggal di belakang gedung-gedung sepanjang Slamet Riyadi; sasaran mudah dikenali karena pertokoan dan hal-hal yang gemerlap ada di lokasi tertentu.
Lantas, apa yang bertimbun menjadi potensi konflik itu? Ini soal sejarah manusia, soal klasik. Di Solo, politik kolonial meminggirkan rakyat ke balik gedung-gedung, mereka terpaksa menjadi buruh kantor-kantor itu, menjadi pedagang kaki lima.
Yang bertahan menjadi petani tergusur ke utara (yang sebenarnya oleh keraton direncanakan menjadi wilayah kota), dan harus menemui kenyataan bahwa pertanian sulit berkembang karena jenis tanah yang tak cocok. Jadi, kembalilah mereka ke kota tanpa keahlian tertentu, menjadi buruh kasar dan murah. Singkat kata, kesenjangan kaya-miskin terasakan dengan nyata. Inilah kondisi yang mudah dibakar untuk menjadi amuk massa.
Bisa jadi pola perkembangan kota di Indonesia di masa kolonial lebih-kurang seperti itu. Yang kemudian khas untuk Solo, menurut penelitian ini, kebijakan kolonial itu berlanjut setelah Proklamasi Kemerdekaan. Bila dulu kota dikembangkan untuk kepentingan dagang Belanda, kini untuk kepentingan elite, rakyat harus minggir.
Benar, akhirnya Solo memiliki master plan (rencana induk) pada 1973, hampir 30 tahun setelah Indonesia merdeka. Dan tak diketahui jelas, adakah rencana tata kota ini dipatuhi atau dilanggar. Misalnya, para pengusaha perumahan mewah memilih lahan di selatan yang subur (Solo Baru). Ini masuk akal karena makin ke selatan makin aman dari kawasan rakyat di utara. (Dalam kerusuhan Mei 1998, Solo Baru relatif aman, hanya beberapa yang dirusak.)
Namun, kawasan yang direncanakan menjadi kota satelit ini para penghuninya tetap memilih berbelanja ke kota (kawasan Pasar Pon dan Singosaren). Maka, bukannya membantu, pembangunan kawasan ini sangat merugikan. Yang nyata, lahan pertanian berkurang; yang tak terlihat, kecemburuan sosial secara tak disadari terpupuk dari hari ke hari.
Satu faktor lagi yang memudahkan terjadinya kerusuhan massa, banyak ruang publik kemudian dimiliki swasta. Taman Sriwedari, yang sejak zaman kolonial menjadi tempat hiburan rakyat yang murah dan nyaman, sejak lama sudah kehilangan kebun binatangnya (pindah ke Jurug, kawasan kelas menengah bawah di bagian timur). Taman itu kini lebih menjadi tempat aktivitas bisnis meski gedung wayang orang masih ada (mungkin tinggal menunggu ditutup).
Penelitian tersebut bermaksud agar Solo tak mengulang kesalahan masa lalunya dalam menata kota.
Masalahnya, di zaman ketika uang bisa membeli segalanya, dan ketika pengangguran dan kemiskinan terus menggelembung, godaan untuk salah-bangun memang besar: entah demi uang, entah demi proyek yang pada kenyataannya membuka lapangan kerja.
Bambang Bujono
Penulis
sumber: Kompas, 15 mei 2006
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0605/15/teropong/2654903.htm
Leave a comment